Karti
Menangis
Malam telah
tiba, hujan deras yang turun sejak siang hari belum juga kunjung reda, malam yang sepi terasa begitu rame dengan
gemercik air yang jatuh di atap seng rumahku. Kaleng bekas cat yang berada di
samping tempat tidurku terus saja berbunyi berbarengan dengan mendaratnya air
hujan yang berhasil lolos melewati atap yang bolong. Belum lagi ditambah suara
batuk Ibuku, paduan suara tersebut terdengar seperti pertunjukan band yang
pemainnya tuna netra dan tuna rungu, sehingga hanya memainkan sesuka hati, tanpa
ada kekompakan dan irama yang terlihat di dinding anyaman bambu rumahku, seekor
cicak pemburu yang ganas sedang mengejar nyamuk yang tak henti-henti berdoa,
berharap keberuntungan masih berada pada pihaknya sehingga ia bisa lolos dari
kejaran cicak yang nampak begitu kejam.
Hidup terasa
indah sekali, tiap hari bisa berkumpul dengan Bapak dan Ibu, tiap hari selalu
makan enak, tinggal di rumah yang permanen, tidak harus memakai sandal saat
berada di dalam rumah. berangkat sekolah membawa motor sendiri, memiliki
smartphone keluaran terbaru, dan tiap hari. .
"Karti,
tolong ambilkan minum!" terdengar suara ibu yang menyadarkanku dari
lamunan yang belum berakhir
"Iya
Bu." jawabku sembari berdiri dan mengambil segelas air
Sudah seminggu
ini ibuku sakit, ia hanya bisa terbaring di kasur. Ibuku adalah seorang penjual
gorengan, tiap hari keliling kampung untuk menjual gorengannya, hasil penjualan
tersebut hanya cukup untuk makan kami berdua, bahkan terkadang kurang apabila
ada kebutuhan lain. Aku seorang remaja yang baru duduk di kelas sebelas SMA,
keseharianku hanya sekolah dan menjadi penjaga warnet yang berada di Kecamatan,
Aku hanya bekerja dari jam 2 siang sampai jam 6 sore. uang bayarannya kugunakan
untuk uang saku tiap hari. Sedangkan ayahku entah berada dimana sekarang, ibuku
bilang bapak pergi saat aku masih berada di kandungan, kondisi ekonomi keluarga
pada saat itu memaksa bapakku pergi merantau ke Sumatra. Pada saat itu katanya
belum ada telepon, sehingga mereka tidak bisa berkomunikasi. Sejak kepergiannya
hingga sekarang belum pernah ada kabar tentangnya. Aku ingin menangis jika
membayangkan kejadian itu, namun dalam benakku menangis tak ada gunanya,
meskipun menangis pula bapakku tak akan datang. Aku hanya bisa berdoa semoga
bapakku dalam keadaan sehat dan bisa bertemu suatu saat nanti.
"Ini Bu
minumnya." ujarku sambil memberi segelas air putih.
"Iya nak,
terima kasih."
"Sama-sama
bu,, oo iya Bu, wajah bapak seperti apa?."
"Wajah
bapakmu manis kaya wajahmu, rambutnya lurus, matanya sipit,
hidungnya
mancung, badannya tinggi dan kekar, tapi sayang, matanya cacat satu karena
terkena pisau oleh perampok saat ia menjadi satpam."
"Kalau saja
bapak ada disini, pasti semua nggak jadi begini."
"Allah
telah mengatur semuanya nak, kita tinggal menjalankan, dan kamu
jangan lupa
berdoa agar kita dikumpulkan kembali dengan bapakmu."
Jam sudah
menunjukan pukul sepuluh, mataku sudah terasa berat, aku segera pergi sikat
gigi dan tidur.
"Tii,,Tii,
Karti, bangun, waktunya salat subuh." panggil ibuku membangunkanku
"Iya bu,
ibu sudah sembuh?" tanyaku
"Ini sudah enakan, mungkin nanti siang
sudah bisa jualan gorengan."
"Alhamdulillah
kalau begitu bu, tapi jangan jualan dulu aja bu, tunggu bener-bener sembuh
saja."
"Ngga papa
ko nak, kalo ngga kerja kita mau makan apa, sekarang aja juga sudah ngga ada
makanan, sudah sana salat."
"Iya
bu." segera ku menuju ke sumur,dan
mengambil air wudhu.
Dinginnya embun
pagi menusuk ke tulang. Terlihat banyak
genangan air bekas hujan semalam. Jago-jago terus bersuara membangunkan orang,
membantu umat muslim untuk melawan setan yang terus menggoda untuk menarik
selimut dan lekas tidur kembali.
Selesai salat subuh, aku segera mandi,
karena hari ini aku harus berangkat sekolah dengan jalan kaki. Aku merasa
semangat sekali hari ini, karena hari ini ada pelajaran favoritku yaitu seni
budaya.
"Aku
berangkat sekolah dulu ya bu." aku berpamitan sambil mencium tangan.
"Hati-hati
di jalan nak."
"Siap
bu,hehe." jawabku sambil tersenyum.
Sesampainya di sekolah, aku berkumpul
dengan teman-temanku diantarannya Tina, Rini dan Leni, ngobrol ke sana-sini
baik yang penting maupun tidak penting.
"Teet..teet...teeeeet"
bel tanda masuk berbunyi.
"Ahh, lagi
asik ngobrolnya malah masuk." ujar Rini.
"Ngga papa,
kan jam satu dua seni budaya, pelajaran kesukaanku, hehe ." jawabku.
"Kamu yang
seneng gue mah apa atuh, kaga bisa ngapa-ngapain." sambung Tina.
"Eh gurunya
dateng tuh."
Dari arah pintu, datang seorang pria gagah
yang tampak berwibawa, memiliki kumis yang tebal mirip dengan kumisnya almarhum
Pak Raden, tubuhnya pendek dan berkulit hitam.
"Selamat
pagi anak-anak."
"Pagi Pak
Guru." jawab semua siswa dengan kompak.
"Oke
anak-anak, materi kita saat ini adalah melukis, tentu sudah pernah ya dulu di
SMP, sehingga sekarang tinggal memperbaiki lagi teknik melukisnya, tambahan
juga tiga minggu lagi ada pameran lukisan di kabupaten, sehingga saya berharap lukisan
kalian dapat diikutkan pada pameran tersebut, dan hadiah bagi karya terbaik
cukup besar yaitu 5 juta rupiah."
mendengar hal
tersebut suasana kelas menjadi ramai, terkagum-kagum akan hadiah tersebut.
Begitu pula denganku, sekilas langsung terbayang dalam benakku, seandainya
karyaku menjadi yang terbaik, aku mendapat uang tersebut, tentu dapat
memperbaiki rumah dan bisa membuat berita di televisi dengan harapan bapakku
bisa kembali.
"Ahh,mungkin
hanya dalam mimpi, tapi aku akan tetap berusaha" gumamku dalam hati.
"Untuk
kanvas, cat minyak, dan kuas sudah disediakan sekolah, kalian bisa langsung
mengambil di gudang belakang" sambung Pak guru.
"Bayar apa
ngga pak?" tanya seorang siswa.
"Berhubung
uang sekolah banyak, jadi gratis, sudah sana ambil saja!."
Rangkaian
pembelajaran sudah selesai jam sudah meunjukkan pukul 14.00, saatnya semua
siswa untuk pulang. Aku segera keluar menuju ke bus yang sudah menunggu, tampak
begitu ramai, siswa-siswa keluar secara bersamaan.
"Assalamu'alaikum
bu." ucapku sesampainya di rumah
"Waalaikumsalam."
"Bu, tiga
minggu lagi ada pameran lukisan, dan aku akan ikut bu, hadiahnya banyak."
"Pameran
dimana? emang kamu bisa melukis?"
"Di kabupaten
bu, bisa dong, anak ibu,he"
"Bisa aja
kamu, ibu doakan semoga kamu bisa menang"
"Amin bu,
aku makan dulu ya bu."
"Iya nak,
Selesai makan,
aku langsung mengambil kanvas untuk melukis, karena hari ini aku tidak berjaga
di warnet. Aku akan melukis seorang bapak yang sedang memangku anak
perempuannya.
Setiap hari
setiap ada waktu kosong aku luangkan untuk melukis, karena ambisiku cukup besar
agar lukisanku bisa menjadi karya terbaik dalam pameran.
Kini tiba saat yang aku tunggu-tunggu,
semua siswa menuju kabupaten untuk mengikuti pameran, aku berangkat dengan Rini
dengan menggunakan sepeda motornya.
Karyaku kebagian di tempat yang paling depan, tak lama dari itu datang
seorang pria menggunakan jas hitam, berpakaian rapi, menggunakan kacamata hitam
mendekat ke arahku.
"Lukisanmu
bagus, bisa kamu lukiskan foto ini" ujar lelaki itu sambil memberikan sebuah
foto
"Terima
kasih pak, Insya Allah bisa pak."
"Oke,
seminggu bisa jadi?"
"Kalo
seminggu terlalu cepat pak, dua minggu gimana pak?"
"Ya ngga
papa, tanggal 28 aku ke rumahku, bisa minta alamatnya?"
"Iya pak,
sebentar saya tulis"
Aku mengambil sepotong kertas dan bolpoin
untuk menulis alamatku
"Ini pak,
rumahku di desa." sambil memberikan kertas bertulis alamat rumahku
"Terima
kasih, ini uang untuk membeli peralatannya" ujarnya lagi sambil
mengeluarkan dua lembar bergambar Soekarno-Hatt.a
Tiba saatnya
pengumuman karya terbaik, dag dig dug terasa jantungku. Namun, ternyata bukan
karyaku yang terbaik, tapi setidaknya aku masih mendapat pesanan lukisan. Dan
aku berusaha untuk memberi yang terbaik.
Tanggal 28 telah tiba, aku menunggu seorang
lelaki yang akan mengambil lukisanku. Setelah berjam-jam aku menunggu tanpak
mobil kijang inova mendekat ke rumahku, tanpak orang berkacamata hitam, memakai
kaos hitam bercelana jeans pendek, dan itulah orang yang aku tunggu-tunggu
"Selamat
pagi dek."
"Pagi pak,
mari masuk." aku dan pria itu masuk ke rumah
"Buu.. ini
orang yang menyuruhku melukis sudah datang." seruku memanggil ibuku
"Oo, iya
nak." jawab ibuku keluar
Sekejap ibuku dan pria itu berpandangan
"Turni?"
tanya pria itu
"Iya,
Tarman?"
Tiba-tiba lelaki itu membuka kacamatanya,
dan tampak matanya cacat satu, ibuku dan lelaki itu berpelukan, keduanya pun
meneteskan air mata
"Dan ini
anakku?"
"Iya"
Lelaki itupun
memelukku erat, sebuah pelukan yang selama ini belum pernah aku rasakan,
pelukan seorang ayah, aku tak bisa menahan air mataku, sebuah tangis
kebahagiaan pun tak terbendung.
kini aku tinggal
dikota bersama bapak, dan sebuah kehidupan di dalam mimpi kini telah menjadi
kenyataan.
No comments:
Post a Comment