Sunday, September 9, 2018

Contoh Cerpen Bahasa Indonesia


Karti Menangis

Malam telah tiba, hujan deras yang turun sejak siang hari belum juga kunjung reda,  malam yang sepi terasa begitu rame dengan gemercik air yang jatuh di atap seng rumahku. Kaleng bekas cat yang berada di samping tempat tidurku terus saja berbunyi berbarengan dengan mendaratnya air hujan yang berhasil lolos melewati atap yang bolong. Belum lagi ditambah suara batuk Ibuku, paduan suara tersebut terdengar seperti pertunjukan band yang pemainnya tuna netra dan tuna rungu, sehingga hanya memainkan sesuka hati, tanpa ada kekompakan dan irama yang terlihat di dinding anyaman bambu rumahku, seekor cicak pemburu yang ganas sedang mengejar nyamuk yang tak henti-henti berdoa, berharap keberuntungan masih berada pada pihaknya sehingga ia bisa lolos dari kejaran cicak yang nampak begitu kejam.
Hidup terasa indah sekali, tiap hari bisa berkumpul dengan Bapak dan Ibu, tiap hari selalu makan enak, tinggal di rumah yang permanen, tidak harus memakai sandal saat berada di dalam rumah. berangkat sekolah membawa motor sendiri, memiliki smartphone keluaran terbaru, dan tiap hari. .
"Karti, tolong ambilkan minum!" terdengar suara ibu yang menyadarkanku dari lamunan yang belum berakhir
"Iya Bu." jawabku sembari berdiri dan mengambil segelas air
Sudah seminggu ini ibuku sakit, ia hanya bisa terbaring di kasur. Ibuku adalah seorang penjual gorengan, tiap hari keliling kampung untuk menjual gorengannya, hasil penjualan tersebut hanya cukup untuk makan kami berdua, bahkan terkadang kurang apabila ada kebutuhan lain. Aku seorang remaja yang baru duduk di kelas sebelas SMA, keseharianku hanya sekolah dan menjadi penjaga warnet yang berada di Kecamatan, Aku hanya bekerja dari jam 2 siang sampai jam 6 sore. uang bayarannya kugunakan untuk uang saku tiap hari. Sedangkan ayahku entah berada dimana sekarang, ibuku bilang bapak pergi saat aku masih berada di kandungan, kondisi ekonomi keluarga pada saat itu memaksa bapakku pergi merantau ke Sumatra. Pada saat itu katanya belum ada telepon, sehingga mereka tidak bisa berkomunikasi. Sejak kepergiannya hingga sekarang belum pernah ada kabar tentangnya. Aku ingin menangis jika membayangkan kejadian itu, namun dalam benakku menangis tak ada gunanya, meskipun menangis pula bapakku tak akan datang. Aku hanya bisa berdoa semoga bapakku dalam keadaan sehat dan bisa bertemu suatu saat nanti.
"Ini Bu minumnya." ujarku sambil memberi segelas air putih.
"Iya nak, terima kasih."
"Sama-sama bu,, oo iya Bu, wajah bapak seperti apa?."
"Wajah bapakmu manis kaya wajahmu, rambutnya lurus, matanya sipit,
hidungnya mancung, badannya tinggi dan kekar, tapi sayang, matanya cacat satu karena terkena pisau oleh perampok saat ia menjadi satpam."
"Kalau saja bapak ada disini, pasti semua nggak jadi begini."
"Allah telah mengatur semuanya nak, kita tinggal menjalankan, dan kamu
jangan lupa berdoa agar kita dikumpulkan kembali dengan bapakmu."

Jam sudah menunjukan pukul sepuluh, mataku sudah terasa berat, aku segera pergi sikat gigi dan tidur.
"Tii,,Tii, Karti, bangun, waktunya salat subuh." panggil ibuku membangunkanku
"Iya bu, ibu sudah sembuh?" tanyaku
"Ini sudah enakan, mungkin nanti siang sudah bisa jualan gorengan."
"Alhamdulillah kalau begitu bu, tapi jangan jualan dulu aja bu, tunggu bener-bener sembuh saja."
"Ngga papa ko nak, kalo ngga kerja kita mau makan apa, sekarang aja juga sudah ngga ada makanan, sudah sana salat."
"Iya bu."  segera ku menuju ke sumur,dan mengambil air wudhu.

Dinginnya embun pagi menusuk ke  tulang. Terlihat banyak genangan air bekas hujan semalam. Jago-jago terus bersuara membangunkan orang, membantu umat muslim untuk melawan setan yang terus menggoda untuk menarik selimut dan lekas tidur kembali.
Selesai salat subuh, aku segera mandi, karena hari ini aku harus berangkat sekolah dengan jalan kaki. Aku merasa semangat sekali hari ini, karena hari ini ada pelajaran favoritku yaitu seni budaya.
"Aku berangkat sekolah dulu ya bu." aku berpamitan sambil mencium tangan.
"Hati-hati di jalan nak."
"Siap bu,hehe." jawabku sambil tersenyum.

Sesampainya di sekolah, aku berkumpul dengan teman-temanku diantarannya Tina, Rini dan Leni, ngobrol ke sana-sini baik yang penting maupun tidak penting.
"Teet..teet...teeeeet" bel tanda masuk berbunyi.
"Ahh, lagi asik ngobrolnya malah masuk." ujar Rini.
"Ngga papa, kan jam satu dua seni budaya, pelajaran kesukaanku, hehe ." jawabku.
"Kamu yang seneng gue mah apa atuh, kaga bisa ngapa-ngapain." sambung Tina.
"Eh gurunya dateng tuh."
Dari arah pintu, datang seorang pria gagah yang tampak berwibawa, memiliki kumis yang tebal mirip dengan kumisnya almarhum Pak Raden, tubuhnya pendek dan berkulit hitam.
"Selamat pagi anak-anak."
"Pagi Pak Guru." jawab semua siswa dengan kompak.
"Oke anak-anak, materi kita saat ini adalah melukis, tentu sudah pernah ya dulu di SMP, sehingga sekarang tinggal memperbaiki lagi teknik melukisnya, tambahan juga tiga minggu lagi ada pameran lukisan di kabupaten, sehingga saya berharap lukisan kalian dapat diikutkan pada pameran tersebut, dan hadiah bagi karya terbaik cukup besar yaitu 5 juta rupiah."
mendengar hal tersebut suasana kelas menjadi ramai, terkagum-kagum akan hadiah tersebut. Begitu pula denganku, sekilas langsung terbayang dalam benakku, seandainya karyaku menjadi yang terbaik, aku mendapat uang tersebut, tentu dapat memperbaiki rumah dan bisa membuat berita di televisi dengan harapan bapakku bisa kembali.
"Ahh,mungkin hanya dalam mimpi, tapi aku akan tetap berusaha" gumamku dalam hati.
"Untuk kanvas, cat minyak, dan kuas sudah disediakan sekolah, kalian bisa langsung mengambil di gudang belakang" sambung Pak guru.
"Bayar apa ngga pak?" tanya seorang siswa.
"Berhubung uang sekolah banyak, jadi gratis, sudah sana ambil saja!."
Rangkaian pembelajaran sudah selesai jam sudah meunjukkan pukul 14.00, saatnya semua siswa untuk pulang. Aku segera keluar menuju ke bus yang sudah menunggu, tampak begitu ramai, siswa-siswa keluar secara bersamaan.
"Assalamu'alaikum bu." ucapku sesampainya di rumah
"Waalaikumsalam."
"Bu, tiga minggu lagi ada pameran lukisan, dan aku akan ikut bu, hadiahnya banyak."
"Pameran dimana? emang kamu bisa melukis?"
"Di kabupaten bu, bisa dong, anak ibu,he"
"Bisa aja kamu, ibu doakan semoga kamu bisa menang"
"Amin bu, aku makan dulu ya bu."
"Iya nak,
Selesai makan, aku langsung mengambil kanvas untuk melukis, karena hari ini aku tidak berjaga di warnet. Aku akan melukis seorang bapak yang sedang memangku anak perempuannya.
Setiap hari setiap ada waktu kosong aku luangkan untuk melukis, karena ambisiku cukup besar agar lukisanku bisa menjadi karya terbaik dalam pameran.
Kini tiba saat yang aku tunggu-tunggu, semua siswa menuju kabupaten untuk mengikuti pameran, aku berangkat dengan Rini dengan menggunakan sepeda motornya.
Karyaku kebagian di tempat  yang paling depan, tak lama dari itu datang seorang pria menggunakan jas hitam, berpakaian rapi, menggunakan kacamata hitam mendekat ke arahku.
"Lukisanmu bagus, bisa kamu lukiskan foto ini" ujar lelaki itu sambil memberikan sebuah foto
"Terima kasih pak, Insya Allah bisa pak."
"Oke, seminggu bisa jadi?"
"Kalo seminggu terlalu cepat pak, dua minggu gimana pak?"
"Ya ngga papa, tanggal 28 aku ke rumahku, bisa minta alamatnya?"
"Iya pak, sebentar saya tulis"
Aku mengambil sepotong kertas dan bolpoin untuk menulis alamatku
"Ini pak, rumahku di desa." sambil memberikan kertas bertulis alamat rumahku
"Terima kasih, ini uang untuk membeli peralatannya" ujarnya lagi sambil mengeluarkan dua lembar bergambar Soekarno-Hatt.a
Tiba saatnya pengumuman karya terbaik, dag dig dug terasa jantungku. Namun, ternyata bukan karyaku yang terbaik, tapi setidaknya aku masih mendapat pesanan lukisan. Dan aku berusaha untuk memberi yang terbaik.
Tanggal 28 telah tiba, aku menunggu seorang lelaki yang akan mengambil lukisanku. Setelah berjam-jam aku menunggu tanpak mobil kijang inova mendekat ke rumahku, tanpak orang berkacamata hitam, memakai kaos hitam bercelana jeans pendek, dan itulah orang yang aku tunggu-tunggu
"Selamat pagi dek."
"Pagi pak, mari masuk." aku dan pria itu masuk ke rumah
"Buu.. ini orang yang menyuruhku melukis sudah datang." seruku memanggil ibuku
"Oo, iya nak." jawab ibuku keluar
Sekejap ibuku dan pria itu berpandangan
"Turni?" tanya pria itu
"Iya, Tarman?"
Tiba-tiba lelaki itu membuka kacamatanya, dan tampak matanya cacat satu, ibuku dan lelaki itu berpelukan, keduanya pun meneteskan air mata
"Dan ini anakku?"
"Iya"
Lelaki itupun memelukku erat, sebuah pelukan yang selama ini belum pernah aku rasakan, pelukan seorang ayah, aku tak bisa menahan air mataku, sebuah tangis kebahagiaan pun tak terbendung.

kini aku tinggal dikota bersama bapak, dan sebuah kehidupan di dalam mimpi kini telah menjadi kenyataan.

No comments:

Post a Comment