Filosofi Pendidikan Kejuruan
Tuntutan persaingan era global, perkembangan informasi dan komunikasi, pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan struktur ketenagakerjaan di era global memerlukan kualitas SDM (tenaga kerja) yang handal (mempunyai daya saing secara terbuka dengan negara lain, adaptif dan antisipatif terhadap berbagai perubahan dan kondisi baru, terbuka terhadap perubahan, mampu belajar bagaimana belajar (learning how to learn), multi-skilling, mudah dilatih ulang, serta memiliki dasardasar kemampuan luas, kuat, dan mendasar untuk berkembang di masa yang akan datang). Hal ini selaras dengan karakteristik manusia sebagai sumberdaya dalam era global yang dituntut memiliki kemampuan: (1) berpikir kritis, peka, mandiri, dan bertanggung jawab, (2) bekerja secara tim, berkepribadian yang baik, dan terbuka terhadap perubahan, serta berbudaya kerja yang tinggi, dan (3) berpikir global dalam memecahkan masalah lokal, dan memiliki daya emulasi yang tinggi.
Pesatnya kemajuan iptek menyebabkan perubahan kekhasan pekerjaan. Seseorang yang semula dididik dan berhasil menguasai ketrampilan seperti yang diinginkan dengan adanya perubahan peralatan atau cara kerja dapat menyebabkan ketrampilannya tidak 3 memadai lagi. Karakteristik dunia kerja mendatang sangat mudah berubah dan berkembang sesuai kondisi yang terjadi. Oleh sebab itu lulusan tidak hanya menguasai ilmu dan ketrampilan baku tetapi juga harus mampu melakukan adaptasi terhadap semua perubahan.
Dari berbagai research dan literatur dengan memperhatikan berbagai tuntutan perubahan karakteristik dunia kerja masa depan, dapat diambil suatu rumusan karakteristik output pendidikan kejuruan yang diharapkan, yaitu : (1) memiliki kecakapan kejuruan secara profesional, (2) memiliki kecakapan berpikir, berolah rasa dan seni, dan memiliki komitmen pada moral yang mulia, (3) memiliki kemampuan pemecahan masalah kehidupan nyata, dan (4) memiliki kemampuan berpikir krtitis dan kemampuan sebagai agen perubahan., menjamin kesinambungan pembangunan negara.
Untuk mewujudkan keempat harapan tersebut, pengembangan kurikulum dan pembelajaran memiliki peran strategis dan bahkan merupakan ujung tombak dalam mencapainya. Namun demikian langkah penting yang tidak dapat dilupakan adalah perlunya mengkaji berbagai aliran filasafat pendidikan yang dapat digunakan sebagai dasar dalam menentukan arah pengembangan kurikulum dan pembelajaran. Filsafat menyediakan petunjuk untuk implementasi, misalnya untuk pengembangan program, pemilihan kegiatan pembelajaran, tujuan kurikulum, perencanaan dan penggunaan sarana dan prasarana, dan identifikasi kebutuhan yang penting dalam pendidikan kejuruan. Dengan mengkaji berbagai aliran filsafat diharapkan pendidikan kejuruan mempunyai dasar yang kuat dan pasti menuju arah yang sesuai dengan tujuan. Dalam lingkup yang lebih kecil khususnya di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) kajian filsafati akan lebih memantapkan guru dalam memilih strategi pembelajaran selaras dengan tujuan dan perkembangan situasi.
Berbagai ahli mengklasifikasikan aliran-aliran filsafat terutama terkait dengan bidang pendidikan dalam berbagai cara dan bentuk, namun demikian terkait dengan pendidikan kejuruan, secara ringkas dapat dibedakan menjadi aliran realisme, idealisme, pragmatisme dan rekonstruksionisme (Pardjono, 2003). Lebih lanjut, karakteristik berbagai aliran tersebut berikut implikasinya dalam pengembangan kurikulum dsan pembelajaran dapat disajikan sebagai berikut:
Aplikasi Pemikiran Realisme
Aristoteles, Francis Bacon, John Locke, dan Pestalozzi merupakan filsuf-filsuf aliran realisme (www. philosophy pages.com). Aliran ini lebih menekankan kegiatannya pada upaya pencarian kebenaran di alam semesta secara fisik. Kebenaran bagi aliran ini adalah sudah pasti, tinggal menunggu nuntuk ditemukan, dimengerti dan dipakai untuk memenuhi kebutuhan manusia. Seseorang yang mencari kebenaran realistik harus menggunakan panca inderanya atau alat bantu indera lain dan membuat ukuran-ukuran.
Sistem belajar yang didasarkan pada unjuk kerja, kompetensi serta hasil pendidikan yang harus terukur merupakan ciri khas pendidikan yang menganut faham realistik. Dalam hal ini guru harus menghadirkan realitas dunia fisik ke dalam kelas. Pembelajaran kontekstual merupakan salahsatu upaya membawa realitas keseharian dunia eksternal siswa ke dalam dunia sekolah atau kelas.
Dalam pendidikan kejuruan yang realistik, seorang peserta/siswa secara teratur dan berkesinambungan belajar ketrampilan tertentu untuk menjadi ahli dalam suatu pekerjaan. Hal ini telah berlaku lama dalam dunia pendidikan kejuruan semenjak revolusi industri. Kurikulum berbasis kompetensi merupakan salahsatu aplikasi dari pemikiran filsafat ini. Siswa disiapkan dengan ketrampilan spesifik untuk mengisi lowongan pekerjaan di industri. Maka pendidikan yang tepat adalah siswa dibawa pada realitas yang ada di lapangan kerja.
Dalam era dengan akselerasi perubahan yang tidak begitu cepat, pendidikan model realistik cocok dilakukan. Namun akan menjadi masalah tatkala perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi berjalan begitu cepat yang mengakibatkan berubahnya struktur pekerjaan secara drastis. Sehingga letak keterbatasan pendidikan model ini adalah ketidakmampuannya untuk menyiapkan SDM menghadapi tantangan kemajuan teknologi yang cepat. Kritik lain adalah: sistem pendidikan ini hanya akan menghasilkan manusia mekanistik, kurang kreatif dan kurang mampu membekali dengan daya adaptasi lulusan.
Aplikasi Pemikiran Idealisme
Aliran idealisme dengan beberapa filsufnya (Descartes, Berkely, Kant dan Hegel) menitikberatkan pandangannya pada sesuatu yang bersifat spiritual. Kebenaran menurut mereka merupakan kebenaran jamak, subjektif dan tidak mutlak. Pengembangan 5 karakter manusia secara utuh dan kesadaran diri merupakan tujuan utama dari pendidikan berdasarkan filsafat idealisme. Oleh karenanya kurikulum didesain untuk menghasilkan manusia secara utuh yang meliputi berbagaia aspek secara holistik. Dalam hal ini guru tidak lagi menyuruh siswa hanya mencatat pelajaran yang dijarkan, tetapi lebih banyak dilibatkan dalam proses berpikir, sehingga siswa dapat menangkap ide dasar dan konsep yang diberikan oleh guru.
Strategi pengajaran yang digunakan pendidik idealis harus mampu mengembangkan kemampuan manusia secara utuh, kemampuan berpikir, berolah rasa, kemampuan berdialog, berlogika, berpikir. Oleh karenanya, metode mengajar yang digunakan dalam pendidikan idealistik memerlukan partisipasi aktif dari peserta didik. Agar peserta didik aktif, maka proses pembelajaran dalam kelas yang idealis bersifat socratecian dengan cara menyampaikan pelajaran secara tidak langsung. Pembelajaran dilakukan dengan cara menstimulasi peserta didik dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan agar mereka aktif berpikir dalam mencari kebenaran.
Ketidaksetujuan terhadap spesialisasi merupakan keterbatasan aplikasi filsafat ini dalam pendidikan kejuruan, karena pada dasarnya pendidikan kejuruan masih tetap membutuhkan spesialisasi. Namun demikian keunggulan penerapan filsafat idealisme adalah kemampuannya untuk memahami makna hidup, mengembangkan daya pikir, apresiasi seni dan sebagainya
Aplikasi Pemikiran Pragmatisme
Pierce, James dan Dewey merupakan salah satu pelopor aliran pragmatismprogressive. Dewey mengemukakan bahwa pendidikan merupakan suatu proses pengumpulan pengalaman pribadi dari seseorang yang berinteraksi dengan dunia. Proses belajar merupakan proses sosial, dimana peran guru adalah sebagai fasilitator dalam kegiatan-kegiatan belajar agar proses belajar terjadi dalam konteks sosial. Semakin baik lingkungan yang diciptakan guru akan semakin baik peluang terjadinya pengalaman yang berharga bagi siswa. Proses pendidikan akan bermakna apabila pengalaman itu menyumbang pengalaman berikutnya
Hidup dan kehidupan bagi penganut pragmatisme merupakan realitas, sehingga pendidikan bukan sebagai persiapan untuk hidup seperti faham idealisme dan realisme, 6 tetapi hidup dan kehidupan itu sendiri merupakan kebenaran pragmatik. Seseorang yang mencari kebenaranpragmatik harus membuat hidup dan kehidupan ini bermanfaat secara fungsional dan material. Pendidikan yang terwujud dalam kurikulum menurut faham pragmatis harus memberikan pengalaman yang terintegrasi dan tersusun dalam bentuk “experiential continum” dalam masa kehidupan. Lebih lanjut beberapa asumsi dalam pendidikan pragmatis antara lain:
Muatan kurikulum harus diperoleh dari minat-minat siswa bukan dari disiplindisiplin akademik.
Pengajaran dikatakan efektif jika mempertimbangkan anak secara menyeluruh dan minat-minat serta kebutuhankebutuhannya.
Pembelajaran pada pokoknya aktif bukannya pasif.
Tujuan dari pendidikan adalah mengajar para siswa berfikir secara rasional sehingga mereka menjadi cerdas, yang memberi kontribusio kepada anggota masyarakat.
Di sekolah, para siswa mempelajari nilai-nilai personal dan juga nilai-nilai sosial.
Umat manusia ada dalam suatu keadaan yang berubah secara konstan dan pendidikan memungkinkan masa depan yang lebih baik dibandingkan masa lalu.
Pembelajaran harus memberikan pengalaman kepada peserta didik yang merefleksikan situasi dan lingkungan dunia kerja yang nyata. Peserta didik dalam kegiatan belajar dianggap sebagai pribadi meskipun dalam konteks sosial. Kegiatankegiatan belajar dalam pendidikan pragmatik diupayakan secara ”hands on” dimana siswa mendapatkan pengalaman praktis, otentik dan kontekstual sesuai dengan pengalaman riil sesuai dengan praktik-praktik yang ada di masyarakat. Metode-metode pemecahan masalah, eksperimentasi, dan model proyek merupakan metod epembelajaran yang sesuai diterapkan dengan harapan membuat sisiwa menjadi lebih ulet dan kreatif serta membentuk kemampuan siswa dalam memecahkan permasalahan dalam kehidupan nyata.
Aplikasi Pemikiran Reconstructionisme
Dewey, Braeld, Freire dan Ivan Illich merupakan tokoh-tokoh aliran reconstructionis dengan dua premis yaitu : Pertama, masyarakat perlu rekonstruksi terus menerus dengan selalu melakukan perubahan. Kedua, suatu perubahan sosial akan mengakibatkan dua hal yaitu: rekonstruksi pendidikan dan peran dari pendidikan dalam merekonstruksi masyarakat.
Kurikulum yang rekonstruksionistik adalah kurikulum yang memungkinkan siswa untuk menjadi agen perubahan yaitu dengan merencanakan, meneliti,mengkritisi, dan mempromosikan perubahan atau inovasi untuk meningkatkan kehidupan manusia. Kurikulum rekonstruksionisme mampu mengembangkan kemampuan berpikir kritis bagi peserta didik, kritis terhadap praktik-praktik ketidakadilan dan ketidakseimbangan.
Aliran rekonstruksionisme memiliki pandangan bahwa kebenaran bersifat sementara. Meskipun percaya ada kebenaran sosial, tetapi memegang keyakinan bahwa selau ada permasalahan di balik kebenaran itu. Orang mencari kebenaran dengan selalu mengkritisi praktik-praktik yang sedang berlangsung di amsyarakat. Pendapat inilah yang menjadikan aliran ini dicap sebagai aliran yang radikal. Namun meskipun demikian beberapa aspirasi filsafat konstruksionisme dapat digunakan dalam melengkapi dasar pijakan pendidikan kejuruan, ketika perkembangan teknologi sangat cepat. Dengan kemampuan kritisnya, siswa dapat berfungsi sebagai penyeimbang dari penggunaan teknologi di masyarakat, disamping dapat membantu masyarakat memahami teknologi sesuai dengan bidangnya. Kurikulum rekonstruksionisme dapat mengembangkan kemampuan menggunakan teknologi yang ada secar kreatif untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Peserta didik diharapkan menjadi agen perubahan budaya dan sosial (social agent of change).
Dalam aliran rekonstruksionis, guru memberi kesempatan kepada murud untuk menggunakan waktu, baik di dalam dan diluar lingkungan sekolah yang sama pentingnya, sehingga memberi kesempatan kepada peserta didik untuk belajar dari lingkungan sosial yang nyata dan juga mengaplikasikan perolehan belajarnya ke dalam masyarakat untuk memecahkan permasalahan yang ada di masyarakat.
No comments:
Post a Comment